Identitas buku
Penulis: tere liye
Penerbit: PT Gramedia pustaka utama
Tahun terbit: cetakan keempat belas; 2016
Jumlah halaman: 512 halaman
Pengulas: Sulfaini
Akhirnya setelah sekian lama menunggu antrian, sampai juga pada giliran.
Buku kau, aku dan sepucuk angpau merah ini sebenarnya setahun sebelumnya sudah
ku baca, tuntas. Namun, karena belum ku review ku baca lagi, sebab sayang kalau
cuma aku yang menikmati buku ini.
Borno, tokoh utama dalam buku ini. seorang yang ditinggal mati
bapaknya, hanya tamat SMA, bekerja serabutan (kebun karet, penjaga SPBU,
penjaga karcis dermaga pelampung, supir sepit dan sebagainya) hingga akhirnya
bisa sukses memiliki bengkel yang sudah bercabang dua, padahal sebelum itu,
Borno tidak kuliah.
Borno adalah seorang bujang berhati baik sepanjang Kapuas (kata mei). Ia
selalu di suruh-suruh oleh cik tulani, koh acong, bang togar dan tentu ibunya.
Borno mempunyai tempat penasihat terbaik, kata-kata nya dalam dan tak pernah
keliru, kalau pun keliru berarti kebenarannya datang terlambat (Borno said);
dia adalah pak tua, bernama asli hidir, seorang yang berperan penting dalam
hidup Borno, apalagi tentang cinta
pertamanya.
Buku ini tentu menceritakan soal cinta, cinta pertama Borno. Pengemudi sepit itu berjumpa dengan gadis berwajah sendu menawan di dermaga kayu; gadis berbaju kuning itu menumpang sepit Borno. lantas kemudian, petugas timer menemukan surat bersampul merah nan rapi tertinggal di sepit Borno; pojokan sepit. Setelah berusaha mengingat, gadis sendu menawan berbaju kuning lah yang duduk disana dan kemungkinan besar pemilik surat sampul merah itu.
‘Abang mau terima angpau juga?” suara merdu itu menyapa.
Aku menoleh, “Eh? Kau memanggilku?”
“Iya, Abang borno, mau angpau?”
Tubuhku membeku seketika (hal 95)
Borno pikir, angpau berwarna merah itu penting, ternyata hanya angpau biasa yang berisi "uang".
Kisah cinta ini pun dimulai.
Malu-malu, perjuangan, beranikan diri, kisah indah yang sekejap,
janji tak ditepati, satpam galak, tau diri, kejutan cinta, cinta sejati. Ah,
banyak sekali pelajarannya. Alur yang tak bisa ditebak, semakin menyelam semakin
seru. Benar, ini bukan soal cinta pada umumnya; sederhana namun penuh makna.
Tentu ending dalam ceritanya tak tertebak, sok menerka-nerka akhirnya salah.
Kau, aku dan sepucuk angpau merah mengajarkan cinta sejati
Aku sering tergelak-gelak dengan hubungan antara Borno dan mei, apa
yang mereka banyak khawatirkan, banyak perjuangkan, padahal tidak punya
hubungan spesial ahaha. Tapi begitulah sederhana nya cinta sejati.
Membaca setiap patah kata, “eh”, “kau” dan yang lain sebenarnya
mengingatkanku pada seseorang, dia sangat suka sekali karya bang tere mungkin kebiasaan
yang bang tere tulis juga menjadi kebiasaannya dia (kenapa harus bahas dia hm?)
Borno yang belum pernah sekali merasakan cinta sungguh kebingungan dengan perasaannya, ingin menyapa, bertanya banyak hal namun setelah keduanya bertemu, tak ada satu patah pun ia lontarkan, hanya menjawab sekenanya dengan wajah grogi. Pertemuan mereka selalu tak terduga (ini lain soal dengan si Borno yang selalu mengantri urut 13 agar Mei menjadi penumpang sepit Borno).
Jika dia memilih menjauh itu berarti sudah saatnya kau memulai kesempatan baru. Percayalah, jika dia memang cinta sejati kau, mau semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus dilalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang. (Pak tua)
Bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang persahabatan sejati dan solidaritas penghuni gang Kapuas
Yeah, salah satu kelebihan novel berjudul kau, aku dan sepucuk
angpau merah bukan hanya membahas soal cinta belaka, kau dan aku saja, angpau
merah, namun lebih dari itu. berulang kali aku berdecak kagum sama kisah ini.
Pertama, persahabatan antara Borno dan Andi. Teman sekolah yang
tamat sma bersama itu kompak tidak melanjutkan pendidikannya lagi; bukan karena
perjanjian bodoh tapi keadaan. Sudah berapa kali Borno dan Andi sama-sama
saling mengerjai, kesal, marah tapi tentu dalam persahabatan hal itu tak akan
bertahan lama. Saling menolong, bercerita, menyanyi, mungkin Pontianak sudah
banyak kali merekamnya. dari yang hanya bekerja di bengkel sempit, jelek dan
tanpa alat memadai sampai kini bengkelnya besar nan bercabang, mereka berdua
berjuang bersama.
“Rasa sedih melihat teman baik menangis ternyata bisa berubah menjadi semangat menggebu tiada tara. Rasa pilu melihat teman teraniaya, bahkan konon bisa mengubah seorang pengecut menjadi panglima perang.” (hal 362)
Kedua, solidaritas tinggi penghuni gang Kapuas. Bertempat tinggal
di sungai Kapuas, rumah-rumah mengapung, berkolong sungai. Bukan mobil bagus
nan mewah kendaraannya, tetapi sepit; semacam perahu. Tak berhenti aku mendecak
kagum solidaritas warga disana, mulai dari pengemudi-pengemudi sepit di dermaga
kayu, warga-warga yang setempat tinggal di gang-gang sungai Kapuas, apalagi
pada bang togar.
Mau-maunya mereka sering bermusyawarah tentang kehidupan borno
apalagi sampai membelikan sepit baru; hasil sumbangan seluruh warga Kapuas. Tak
pernah lelah mereka bercanda di dermaga Kapuas; bahkan di suatu persoalan
mereka lebih memilih menunggu Borno yang akan bertemu dengan gadis sendu itu
daripada menarik sepit (kalau dipikir, apa untungnya bukan?). lagi, lagi mereka
sungguh sangat baik sekali, tolong menolong, sirat kekhawatiran saat pak tua
ditemukan pingsan. Ah, kagum benar aku.
Begitu sedikit cuplikan dari buku kau, aku dan sepucuk angpau merah. Cocok sekali dibaca oleh remaja yang sedang marak-maraknya sok bercinta-cinta. Namun tidak ada salahnya dibaca oleh semua orang. Ini buku, eh novel yang recommend sekali, sudah pasti kenal dengan bang Tere Liye kan? Yah, karyanya sudah nggak bisa diragukan lagi.
Baca karya bang Tere yang sudah ku review yuk;
Review novel negeri pada badebah
Review novel dikatakan atau tidak di katakan itu tetap cinta